Selamat datang di Laut China Selatan Posisi Indonesia ada dimana ?
Srikandi News -- Sepertiga lalu lintas maritim global. Perdagangan tahunan senilai sekitar $5 triliun. Enam negara mengklaimnya. Satu wilayah perairan. Dan itu hanya masalah di permukaan saja.
Selamat datang di Laut China Selatan, perairan yang mencakup banyak negara di Asia Tenggara. Dengan kekayaan yang terkandung di sekitar dan juga jauh di dalam kawasan tersebut – Laut China Selatan menyimpan perikanan yang menggiurkan; cadangan minyak dan gas yang diperkirakan oleh pejabat AS setidaknya setara dengan cadangan minyak di Meksiko, dan mungkin merupakan cadangan minyak kedua terbesar setelah Arab Saudi – laut ini salah satu laut yang paling penting secara strategis dan paling diperebutkan di abad ke-21.
Bagian utara laut ini mencapai pesisir China, yang mengklaim haknya atas perairan ini secara historis sejak beberapa abad yang lalu. Kini, Beijing mengklaim lebih dari 95 persen Laut China Selatan dan mengandalkan kawasan tersebut sebagai pemasok 85 persen impor minyak mentah China. China juga mengklaim pulau-pulau kecil di Laut China Selatan dan telah membangun sekitar 1.300 hektar lahan untuk menopang sebagian besar infrastruktur militer, termasuk landasan pacu yang cukup panjang untuk bisa menampung pesawat pengebom.
Selama berabad-abad Laut China Selatan memegang peranan penting bagi keberlangsungan ekonomi negara-negara tetangga, yaitu Vietnam, Malaysia, Brunei, Filipina.
Negara-negara yang tidak mengklaim kawasan tersebut juga mempunyai kepentingan sendiri. Kawasan perikanan Laut Natuna yang berbatasan dengan Laut China Selatan juga menyimpan cadangan gas alam penting bagi Indonesia.
Lebih jauh lagi, Korea Selatan dan Jepang, walaupun tidak mengklaim kepemilikan atas Laut China Selatan, mengandalkan kawasan bebas tersebut untuk memenuhi lebih dari separuh kebutuhan energi mereka.
AS, yang melindungi kepentingannya dan kepentingan sekutu-sekutunya, mempertahankan kehadiran militernya di kawasan tersebut. Pejabat Angkatan Laut AS berencana meningkatkan jumlah armada Pasifik yang bertugas di luar negeri hingga sekitar 30 persen pada tahun 2021. [
Sementara ekonomi Asia terus tumbuh dengan mencengangkan dalam dua dekade terakhir, stabilitas regional dan akses ke Laut China Selatan menjadi kepentingan global.
Bentrokan antara patroli angkatan laut China dan armada penangkapan ikan negara-negara tetangga berisiko menimbulkan konflik internasional, mempertanyakan komitmen Washington terkait keamanan di kawasan tersebut.
Banyak negara-negara Barat yang mendesak Beijing untuk mematuhi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), yang mengatur zona kontrol maritim berdasarkan garis pantai. Tapi China memandang peraturan pengelolaan maritim yang didukung oleh PBB bertentangan dengan hukum dalam negeri; bahkan China menganggap peraturan tersebut sebagai alat hegemoni barat yang dirancang untuk memperlemah pengaruh China sebagai kekuatan dunia yang semakin luas.
Di luar tanda bertuliskan “Nansha adalah tanah nasional kita, yang sakral dan tidak boleh diganggu gugat,” tentara China berpatroli di daratan buatan di Kepulauan Spratly, yang dalam bahasa Mandarin bernama Nansha, 9 Februari 2016.
Amerika Serikat, yang telah menandatangani UNCLOS tanpa meratifikasinya, seringkali bergantung pada kesepakatan internasional untuk menyelesaikan sengketa teritorial.
Pada bulan Juli, sebuah panel yang terdiri dari lima hakim di Den Haag dengan suara bulat menolak landasan hukum hampir seluruh klaim maritim China. Beberapa minggu kemudian, Mahkamah Agung Rakyat China mengeluarkan peraturan yang memaparkan landasan hukum yang jelas bagi China untuk menjaga perairan ketertiban maritim, di mana Beijing bersumpah akan mengadili semua pihak asing yang ditemukan menangkap ikan atau mencari ikan di perairan yang disengketakan.
Cara lain untuk menyelesaikan sengketa teritorial yang kompleks ini juga tampaknya tidak berhasil. Kode etik yang dirancang oleh ASEAN dan telah lama tertunda, menurut pejabat Beijing akan diselesaikan pada tahun 2017, tidak akan mempunyai dampak berarti dalam menyelesaikan konflik klaim kedaulatan. Seperti putusan pengadilan Den Haag, deklarasi ASEAN yang mengikat secara hukum tidak akan memiliki mekanisme penegakan hukumnya.
Tantangan di Masa Depan
AS sejak lama mengatakan tidak akan memihak dalam sengketa Laut China Selatan, walaupun terus mengkritik perilaku China di kawasan tersebut dan telah memperluas aliansi pertahanan dengan negara-negara yang juga mengklaim kawasan tersebut.
Sebagai presiden baru AS, Donald Trump, kemungkinan besar akan dituntut untuk segera mengatasi krisis perairan ini. Ketika Presiden George W. Bush baru menjabat, ia menghadapi sengketa internasional yang dipicu oleh tabrakan di udara antara pesawat mata-mata AS dan jet tempur China dekat Pulau Hainan.
Kurang dari tujuh minggu setelah Presiden Barack Obama dilantik, kapal-kapal dan pesawat-pesawat China berkonfrontasi dengan USNS Impeccable, sebuah kapal pengintai di perairan selatan Hainan, dan China memerintahkan USNS Impeccable meninggalkan kawasan tersebut. AS menyatakan berhak berada di kawasan tersebut dan bahwa kapalnya diganggu; sementara Beijing membela tindakannya. Obama menjawab tindakan Beijing dengan mengirimkan kapal perusak berpeluru kendali untuk melindungi Impeccable.
Insiden-insiden serupa kemungkinan besar terus terjadi akibat sengketa di kawasan tersebut. Sebelum masalah kedaulatan maritim diatasi, perairan itu akan terus menghadapi sengketa geopolitik terkait perdagangan internsional yang berdampak pada ekonomi dunia. Kami terus melaporkan isu Laut China Selatan di sini.
Tidak ada komentar